Senin, 04 Februari 2019

MAKSIMALKAN POTENSI HARTAMU

MAKSIMALKAN POTENSI HARTAMU

Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Umumnya masyarakat memahami, orang disebut sukses ketika cita-cita dan harapannya terwujud. Dan bisa jadi pemahaman ini juga melekat pada diri kita. Tidak masalah, karena berarti kita bagian umumnya masyarakat itu.
Hanya saja, apa yang bisa anda bayangkan, ketika cita-cita dan harapan manusia itu ternyata selalu berkembang. Sementara bagian dari tabiat nafsu, dia selalu mengharap lebih banyak dari pada apa yang telah didapatkan. Kecuali mereka yang dirahmati Allah.
Dengan kenyataan ini, manusia tidak akan pernah berhenti mengejar cita-cita dan harapannya. Dia akan terus mengejar tambahan dan tambahan, hingga mulutnya disumpal dengan tanah.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ
“Andai bani Adam memiliki dua lembah penuh dengan harta, niscaya dia akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi perut bani Adam selain tanah.” (Bukhari 6436 dan Muslim 1048)
Mobil mengkilat, rumah bertingkat, pasangan memikat, anda tidak akan menyangka itu cukup untuk mengcover semua keinginan anda. Nafsu akan terus mendorong untuk mendapatkan lebih dan lebih.
Jika ini yang menjadi standar sukses anda, berarti anda terjebak dalam kesuksesan ala hawa nafsu. Sukses yang menjadi standar umum penduduk bumi, termasuk orang kafir. Karena gemerlap dunia ini, Allah berikan kepada siapa saja, termasuk orang kafir sekalipun.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الدِّينَ إِلَّا لِمَنْ أَحَبَّ
“Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai. Dan Allah tidak akan memberikan pemahaman agama kecuali kepada orang yang Dia cintai.” (HR. Ahmad 3672)

Prestasi Kita yang Sejatinya

Karena itulah, prestasi kita tidak diukur dari seberapa banyak harta yang kita punya… atau seberapa tinggi jabatan yang saat ini sedang kita jalani… atau seindah apa tubuh kita…
Namun prestasi manusia yang sejatinya adalah sejauh mana dia bisa memberi manfaat bagi orang lain. Dengan kata lain, prestasi kita diukur dari sejauh mana kita menjadi manusia yang berkah. Semakin bermanfaat bagi lingkungan, semakin dicintai oleh Allah..
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ
“Manusia yang paling dicintai Allah, adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (at-Thabrani dalam as-Shaghir, 862 – majma’ zawaid 13708)

Potensi Harta

Termasuk diantara potensi itu adalah harta. Jika hanya mengendap untuk kepentingan pribadi, nilainya tidak maksimal. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarakankan agar harta tidak dibiarkan nganggur.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ لِى مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسَرَّنِى أَنْ لاَ تَمُرَّ عَلَىَّ ثَلاَثُ لَيَالٍ وَعِنْدِى مِنْهُ شَىْءٌ ، إِلاَّ شَيْئًا أُرْصِدُهُ لِدَيْنٍ
Andai saya memiliki emas sebesar gunung Uhud, saya tidak ingin emas itu berada di tempatku selama 3 hari sementara masih ada yang tersisa, selain sebagian yang kusiapkan untuk melunasi utang. (HR. Bukhari 6445 & Muslim 2349).
Hadis ini tidak memerintahkan kita untuk mensedekahkan semua harta kita. Ini rencana pribadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bagian dari keistimewaan Nabi, beliau tidak boleh memiliki warisan.
Sementara kita diizinkan untuk memiliki warisan.
Namun kita bisa mengambil pelajaran dari hadis ini berkaitan dengan semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak membiarkan harta mengendap dan nganggur. Jika tidak disedekahkan, pilihan apa yang bisa kita lakukan?
Masih banyak pilihan selain sedekah..
Dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi..
Dipinjamkan ke sesama muslim yang sedang membutuhkan..
Diinvestasikan ke sesama muslim untuk mengembangkan usaha mereka…
Intinya, potensi harta itu tidak dibiarkan sia-sia…
Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ
“Siapa yang memiliki tanah, hendaknya dia kelola (dengan ditanami). Jika dia tidak mampun untuk mengelolanya, berikan kesempatan bagi saudaranya.” (HR. Muslim 3998).
Ada banyak pendapat para ulama mengenai makna hadis ini. Dan diantara pelajaran yang bisa kita ambil, hendaknya seorang muslim memaksimalkan potensi yang dia miliki. Tidak hanya yang berupa tanah seperti yang disebutkan dalam hadis, termasuk potensi yang lainnya, terutama harta.
Demikian, Allahu a’lam.
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • JADI DONATUR hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Selasa, 15 Januari 2019

SANDI UNO - KEY OF SUCCES

1. BISNIS PLAN - Harus buat bisnis plan, harus ada simulasi dlu dan persiapan

2. BISNIS IS ABOUT SPEED - Kecepatan menangkap peluang. Harus cepat menangkap peluang, karna kesempatan peluang hanya datang skali.

3. ENDURANCE - Nafas panjang, perlu berkesinambungan, stay optimis, konsist

4. TEAM WORK - Karna nggak ada yg namanya superman, yg ada superteam bangun jaringan. Kta nggak bisa nyelesain semuanya.

5. IBADAH - Libatkan Allah selalu.

Jumat, 11 Januari 2019

Kenapa Allah Menggunakan Dhamir Huwa

(Beberapa hari lalu seorang teman mengajukan pertanyaan di salah satu grup Whatsapp. Ini adalah jawaban yang aku beri)
Kenapa Allah menggunakan dhamir ‘Huwa’?
“Karena kalo pake dhomir selain huwa, akan lebih tidak masuk akal” itu bener banget.
Pertama-tama lets consider this: dari semua dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) yang ada (huwa huma hum hiya hunna), yang menunjukkan ‘jumlah’ yang satu cuman huwa dan hiya. Kalau Allah menggunakan selain kedua itu, jelas ngga akan make any sense at all karena Allah selalu menegaskan sifat ke-Esa-anNya (misalnya, dalam qul huwallahu ahad). Obviously bakal kontradiktif parah dan bikin manusia salah paham jika Allah mnggunakan dhamir ghaib selain dua itu (note: dlm penggunaan dhamir nahnu ada makna ‘takzhim’ yang biasa digunakan dalam uslub arab dan bukan menunjukkan jumlah).
“Lalu, kenapa memilih huwa? Bukankah huwa itu menunjukkan gender maskulin? Padahal Allah kan tidak bergender?”
Jawab: Penggunaan huwa sebagai dhamir dalam konteks ini bukan menunjukkan gender maskulin.
Hm, begini. Dalam ilmu gramatika, kata ganti dikelompokkan menjadi dua jenis: menunjukkan gender (gender maskulin dan feminin) dan tidak menunjukkan gender (dalam bahasa arab dsbut ضمائر محايدة dan dalam bahasa Inggris disebut neuter pronoun). Misalnya dalam bhs Inggris, kata ganti ‘it’ termasuk neuter pronoun.
Dhamair muhayadah (neuter pronoun) ini digunakan untuk neuter noun (kata yg ngga jelas jatohnya ke gender maskulin atau feminin, serta kata yang memang aslinya bukan gender maskulin ataupun feminin alias emang ngga bergender) seperti, misalnya, benda mati pada umumnya.
Dalam bahasa arab, kata yg termasuk neuter noun misalnya benda seperti الحجر الجبل kemudian sifat abstrak seperti العدل الكرم dll.
Nah dalam kaidah bahasa Arab, semua noun tetap dikelompokkan dalam gender maskulin (mudzakkar) atau feminin (muannats) walaupun itu neuter noun. Maka neuter noun tetap menggunakan dhomir yg ada walaupun dhomir itu mnunjukkan gender. Hanya saja, kaidah ini tetap tidak bermakna neuter noun itu bergender. Yang seperti ini biasa disebut mudzakkar/muannats majazi yaitu sesuatu yang aslinya tidak bergender tapi diperlakukan bergender dalam bahasa. Seperti kata baytuka jamiilun bukan baytuka jamiilatun bukan berarti rumahmu bergender maskulin.
Karena Allah tdk bergender, maka kata “Allah” secara bahasa masuk ke dalam kategori neuter noun ini. Jadi penggunaan huwa tidak untuk menunjukkan gender maskulin. 
“Oke tidak berhubungan dengan gender. Lalu kenapa menggunakan huwa ketimbang hiya?”
Jawab: Nah ini masalah bahasa. 
Seperti penggunaan ‘nahnu’, ini punya kaitan erat dengan bahasa. Menurut Imamun Nahwi Sibawai, mudzakkar itu lebih ringan dari pada mu’annats karena mudzakkar adalah awal (asal) dan tadzkir bisa mencakup makna ta’nits ( كتاب سبويه ).
Maksudnya, secara bahasa, mudzakkar itu adalah asal jadi tak perlu ada tanda tambahan untuk menunjukkan bahwa itu mudzakkar, sehingga jadi lebih ringan. Lebih jauh lagi, neuter noun pada asalnya (by default) dianggap mudzakkar dan menggunakan dhomir mudzakkar, kecuali ia punya tanda-tanda muannats atau punya sebab tertentu sehingga dia dianggap muannats, atau memang sudah lazimnya diperlakukan sebagai muannats sehingga bisa menggunakan dhomir muannats (misalnya karena ia adlh nama tempat geografis, karena ia nama anggota tubuh yang berpasangan, atau karena lazimnya secara sima’i biasa dianggap muannats seperti beberapa noun tertentu: syams, nafs, ardh, naar dst).
Dalam hal ini, kata ‘Allah’ secara default termasuk pada kelompok neuter noun yang menggunakan dhomir mudzakkar.
Secara bahasa juga, seperti kutipan Imam Sibawai tadi, mudzakkar bisa mencakup di dalamnya makna muannats, tapi tidak sebaliknya. Dari sini, mudzakkar punya kelebihan keluasan makna.
Itu secara bahasa.
Lebih jauh lagi, sejak dahulu kala, orang Arab selalu menggunakan kata ganti mudzakkar ‘huwa’ untuk ‘Allah’ (Tuhan semesta alam). Maka selain sudah jadi naluri bahasa, itu sudah jadi naluri akal sehat mereka bahwa Tuhan lebih tepat digunakan untukNya dhamir mudzakkar huwa dan bukan hiya. 
Maka, kalau Allah menggunakan hiya, bukan saja akan membingungkan secara gramatikal arab tapi juga secara sense akal sehat mereka.
“Kenapa ngga bikin dhamir ghaib khusus buat Allah?”
Jawab: Kenapa harus? Gramatika yang ada udah mencukupi dan indah.
Kembali ke jawaban intinya, penggunaan huwa adalah yang paling make sense.
Disarikan dari (beberapa sumber utama aja ya):