Selasa, 15 Januari 2019

SANDI UNO - KEY OF SUCCES

1. BISNIS PLAN - Harus buat bisnis plan, harus ada simulasi dlu dan persiapan

2. BISNIS IS ABOUT SPEED - Kecepatan menangkap peluang. Harus cepat menangkap peluang, karna kesempatan peluang hanya datang skali.

3. ENDURANCE - Nafas panjang, perlu berkesinambungan, stay optimis, konsist

4. TEAM WORK - Karna nggak ada yg namanya superman, yg ada superteam bangun jaringan. Kta nggak bisa nyelesain semuanya.

5. IBADAH - Libatkan Allah selalu.

Jumat, 11 Januari 2019

Kenapa Allah Menggunakan Dhamir Huwa

(Beberapa hari lalu seorang teman mengajukan pertanyaan di salah satu grup Whatsapp. Ini adalah jawaban yang aku beri)
Kenapa Allah menggunakan dhamir ‘Huwa’?
“Karena kalo pake dhomir selain huwa, akan lebih tidak masuk akal” itu bener banget.
Pertama-tama lets consider this: dari semua dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) yang ada (huwa huma hum hiya hunna), yang menunjukkan ‘jumlah’ yang satu cuman huwa dan hiya. Kalau Allah menggunakan selain kedua itu, jelas ngga akan make any sense at all karena Allah selalu menegaskan sifat ke-Esa-anNya (misalnya, dalam qul huwallahu ahad). Obviously bakal kontradiktif parah dan bikin manusia salah paham jika Allah mnggunakan dhamir ghaib selain dua itu (note: dlm penggunaan dhamir nahnu ada makna ‘takzhim’ yang biasa digunakan dalam uslub arab dan bukan menunjukkan jumlah).
“Lalu, kenapa memilih huwa? Bukankah huwa itu menunjukkan gender maskulin? Padahal Allah kan tidak bergender?”
Jawab: Penggunaan huwa sebagai dhamir dalam konteks ini bukan menunjukkan gender maskulin.
Hm, begini. Dalam ilmu gramatika, kata ganti dikelompokkan menjadi dua jenis: menunjukkan gender (gender maskulin dan feminin) dan tidak menunjukkan gender (dalam bahasa arab dsbut ضمائر محايدة dan dalam bahasa Inggris disebut neuter pronoun). Misalnya dalam bhs Inggris, kata ganti ‘it’ termasuk neuter pronoun.
Dhamair muhayadah (neuter pronoun) ini digunakan untuk neuter noun (kata yg ngga jelas jatohnya ke gender maskulin atau feminin, serta kata yang memang aslinya bukan gender maskulin ataupun feminin alias emang ngga bergender) seperti, misalnya, benda mati pada umumnya.
Dalam bahasa arab, kata yg termasuk neuter noun misalnya benda seperti الحجر الجبل kemudian sifat abstrak seperti العدل الكرم dll.
Nah dalam kaidah bahasa Arab, semua noun tetap dikelompokkan dalam gender maskulin (mudzakkar) atau feminin (muannats) walaupun itu neuter noun. Maka neuter noun tetap menggunakan dhomir yg ada walaupun dhomir itu mnunjukkan gender. Hanya saja, kaidah ini tetap tidak bermakna neuter noun itu bergender. Yang seperti ini biasa disebut mudzakkar/muannats majazi yaitu sesuatu yang aslinya tidak bergender tapi diperlakukan bergender dalam bahasa. Seperti kata baytuka jamiilun bukan baytuka jamiilatun bukan berarti rumahmu bergender maskulin.
Karena Allah tdk bergender, maka kata “Allah” secara bahasa masuk ke dalam kategori neuter noun ini. Jadi penggunaan huwa tidak untuk menunjukkan gender maskulin. 
“Oke tidak berhubungan dengan gender. Lalu kenapa menggunakan huwa ketimbang hiya?”
Jawab: Nah ini masalah bahasa. 
Seperti penggunaan ‘nahnu’, ini punya kaitan erat dengan bahasa. Menurut Imamun Nahwi Sibawai, mudzakkar itu lebih ringan dari pada mu’annats karena mudzakkar adalah awal (asal) dan tadzkir bisa mencakup makna ta’nits ( كتاب سبويه ).
Maksudnya, secara bahasa, mudzakkar itu adalah asal jadi tak perlu ada tanda tambahan untuk menunjukkan bahwa itu mudzakkar, sehingga jadi lebih ringan. Lebih jauh lagi, neuter noun pada asalnya (by default) dianggap mudzakkar dan menggunakan dhomir mudzakkar, kecuali ia punya tanda-tanda muannats atau punya sebab tertentu sehingga dia dianggap muannats, atau memang sudah lazimnya diperlakukan sebagai muannats sehingga bisa menggunakan dhomir muannats (misalnya karena ia adlh nama tempat geografis, karena ia nama anggota tubuh yang berpasangan, atau karena lazimnya secara sima’i biasa dianggap muannats seperti beberapa noun tertentu: syams, nafs, ardh, naar dst).
Dalam hal ini, kata ‘Allah’ secara default termasuk pada kelompok neuter noun yang menggunakan dhomir mudzakkar.
Secara bahasa juga, seperti kutipan Imam Sibawai tadi, mudzakkar bisa mencakup di dalamnya makna muannats, tapi tidak sebaliknya. Dari sini, mudzakkar punya kelebihan keluasan makna.
Itu secara bahasa.
Lebih jauh lagi, sejak dahulu kala, orang Arab selalu menggunakan kata ganti mudzakkar ‘huwa’ untuk ‘Allah’ (Tuhan semesta alam). Maka selain sudah jadi naluri bahasa, itu sudah jadi naluri akal sehat mereka bahwa Tuhan lebih tepat digunakan untukNya dhamir mudzakkar huwa dan bukan hiya. 
Maka, kalau Allah menggunakan hiya, bukan saja akan membingungkan secara gramatikal arab tapi juga secara sense akal sehat mereka.
“Kenapa ngga bikin dhamir ghaib khusus buat Allah?”
Jawab: Kenapa harus? Gramatika yang ada udah mencukupi dan indah.
Kembali ke jawaban intinya, penggunaan huwa adalah yang paling make sense.
Disarikan dari (beberapa sumber utama aja ya):